Sebelum kata Toraja digunakan untuk nama suatu negeri
yang sekarang dinamakan Toraja, sebenarnya dahulu adalah negeri yang berdiri
sendiri yang dinamai “Tondok Lepongan Bulan
Tana Matari’ Allo” (Tondok = negeri, Lepongan = kebulatan/kesatuan,
Bulan = bulan, Tana = negeri, Matari’= bentuk, Allo = matahari).
Yang artinya negeri yang pemerintahan dan kemasyarakatannya berketuhanan
yang merupakan kesatuan yang bulat bentuknya bagaikan bundaran bulan/matahari.
Nama Lepongan Bulan atau Matari’ Allo adalah bersumber dari terbentuknya
negeri ini dalam suatu kebulatan / kesatuan tata masyarakat yang terbentuk
berdasarkan :
- Persekutuan atau kebulatan berdasarkan suatu ajaran Agama / Keyakinan
yang sama yang dinamakan Aluk Todolo, mempergunakan suatu aturan yang
bersumber / berpancar dari suatu sumber yaitu dari Neger Marinding
Banua Puan yang dikenal dengan Aluk Pitung Sa'bu Pitu Ratu' Pitung
Pulo Pitu atau Aluk Sanda Pitunna (Aturan/Ajaran 7777)
- Oleh beberapa Daerah Adat yang mempergunakan satu Aturan Dasar
Adat dan Budaya yang terpancar / bersumber dari satu Aturan.
- Dibentuk oleh satu suku bangsa Toraja.
Suku Toraja mendiami sebagian jazirah propinsi Sulawesi Selatan bagian
utara. Pada zaman sekarang orang Toraja berdiam di daerah Kabupaten Tana
Toraja, sebagian Kabupaten Mamuju seperti di Kecamatan Suppiran, sebagian
di Kabupaten Luwu diwilayah Kecamatan Pantilang, Rongkong, Seko, sebagian
di Kabupaten Enrekang bagian utara, Kabupaten Polmas bagian timur. Masyarakat
Toraja terbagi dalam tiga daerah adat, yaitu daerah adat Kama’dikan,
daerah adat Pakamberan dan daerah adat Kapuangan.
Menurut sejarahwan dan budayawan Toraja bahwa penduduk yang pertama-tama
menduduki/mendiami daerah Toraja pada zaman purba adalah penduduk yang
bergerak dari bagian selatan dengan mempergunakan perahu / sampan. Mereka
datang dalam bentuk kelompok yang dinamai Arroan (kelompok manusia). Setiap
Arroan dipimpin oleh seorang pemimpin yang dinamai Ambe’ Arroan
(Ambe’ = bapak, Arroan = kelompok).
Setelah itu datang penguasa baru yang dikenal dalam sejarah Toraja dengan
nama Puang Lembang (Puang = pemilik, Lembang = Perahu) yang artinya pemilik
perahu, karena mereka datang dengan mempergunakan perahu menyusuri sungai-sungai
besar. Pada waktu perahu mereka sudah tidak dapat diteruskan karena derasnya
air sungai dan bebatuan, maka mereka membongkar perahunya untuk dijadikan
tempat tinggal sementara. Tempat mereka menambatkan perahunya dan membuat
rumah pertama kali dinamai Bamba Puang (Bamba = pusat = pangkalan, Puang
= pemilik) sampai sekarang.
Karena persaingan yang begitu hebat dan terus menerus dikalangan puang-puang
akibat kepemimpinan/kekuasaan Londong Di Rura yang lalim, sehingga Sukaran
Aluk (aturan hidup) dilupakan/dihancurkan. Akhirnya sebagian dari puang
lembang berpindah ke bagian utara. Salah seorang diantaranya yang pindah
diantaranya anak Puang Ri Buntu (Penguasa bukit) bernama Tangdilino’
pindah ke daerah Marinding sebagai penguasa baru. Dari selatan Tangdilino’
memindahkan Tongkonan/istananya untuk membina kekuasaan dan pemerintahannya.
Menurut cerita, Tongkonan/istana dipindahkan dengan tidak dibongkar tetapi
hanya didorong diatas sebuah rel kayu namun selalu singgah/tersangkut
dalam perjalanan, makanya Tongkonan tersebut dinamakan Tongkonan Ramba
Titodo (Ramba = usir = giring, Titodo = terantuk-antuk = singgah). Dan
selanjutnya di Marinding dibangun Tongkonan Banua Puan yang artinya kekuasaan
dan peranan puang yang dipindahkan tetapi tidak lagi melaksanakan cara-cara
pemerintahan serta aturan puang demikian pula gelar puang tidak digunakan
lagi melainkan menggunakan gelar ma’dika.
Oleh karena itu Tangdilino, menciptakan aturan dan cara pemerintahan baru
dengan pedoman hidup baru dengan bantuan seorang ahli Sukaran Aluk (ahli
agama) bernama Pong Sulo Ara’ dari Sesean (dibagian utara Tana Toraja),
maka terciptalah “Aluk Pitung Sa’bu Pitu Ratu’ Pitung
Pulo Pitu” atau “Aluk Sanda Pitunna” (Aluk 7777) yang
bersumber dari ajaran Sukaran Aluk yang hampir hilang yang masih dikuasai
(dimiliki) dengan baik oleh Pong Sulo Ara’ dengan dasar kesatuan,
kekeluargaan dan kegotong- royongan.
Aluk Sanda Pitunna (Aluk 7777) didalamnya mencakup :
- Aturan hidup dan kehidupan manusia
- Aturan memuliakan Puang Matua (Tuhan Allah)
- Aturan menyembah kepada Deata-Deata (Dewa-dewa)
- Aturan menyembah kepada Tomembali Puang/Todolo (Arwah leluhur)
Jadi Aluk Sanda Pitunna (Aluk 7777) merupakan susunan agama dan aturan
hidup, yaitu : Ajaran Sukaran Aluk (agama) Aluk Tallu Oto’na yaitu
Ajaran tiga kepercayaan = tri tunggal (Puang Matua, Deata-deata, Tomembali
Puang) digabung dengan Aturan Kehidupan Ada’ A’pa’ Oto’na
yaitu Ajaran kehidupan falsafah empat (Aluk Ma’lolo Tau = Persekutuan
hidup manusia, Aluk Patuoan = Persekutuan hidup ternak/binatang, Aluk
Tananan = Persekutuan hidup tanaman, Aluk Bangunan Banua = Persekutuan
hidup rumah). Dengan menggabungkan Aluk tersebut yaitu Aluk Tallu Oto’na
dengan Ada’ A’pa’ Oto’na maka terciptalah Aluk
Sanda Pitunna (Aluk 7777). Dalam ajaran ini menyatakan bahwa Agama dan
Aturan kehidupan itu adalah berasal dari Puang Matua (Tuhan Allah = Sang
Pencipta) yang diturunkan kepada nenek moyang manusia yang pertama bernama
Datu Laukku’ (lihat gambar)
Seluruh daerah yang mempergunakan Aluk Pitung Sa’bu
Pitu Ratu’ Pitung Pulo pitu (Aluk 7777) menggunakan lambang kekuasaan
bernama Bare’Allo (lambang matahari) yang berarti simbol Ketuhanan
atau Kebertuhanan sebagai sumber pandangan hidup dan kehidupan orang Toraja.
Lambang ini ditempatkan (diukir) pada tempat paling atas dari dari semua
ukiran pada bagian depan dan belakang dari Tongkonan. Semua daerah yang
mempergunakan lambang Bare’ Allo (lambang Matahari) termasuk dalam
kesatuan “Tondok Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo” (Tondok
= negeri, Lepongan = kebulatan/kesatuan, Bulan = bulan, Tana = negeri,
Matari’= bentuk, Allo = matahari). Yang artinya negeri yang pemerintahan
dan kemasyarakatannya berketuhanan yang merupakan kesatuan yang bulat
bentuknya bagaikan seperti bundaran bulan/matahari.
Pada tahun ± 900 menurut pembagian dari Banua Puan Marinding, daerah
yang termasuk Tondok Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo adalah terbagi
3 (tiga) Lesoan Aluk (Lesoan = cara = bagian, Aluk = Aturan = agama /
kehidupan), yaitu:
- Daerah Padang di Ambei’
- Daerah Padang di Puangi
- Daerah Padang di Ma’dikai
Kurang lebih 150 tahun (tahun ± 1050) sesudah
tersebarnya Aluk Sanda Pitunna (Aluk 7777) di Tondok Lepongan Bulan Tana
Matari’ Allo, datang gelombang punguasa baru tanpa pengikut yang
dikenal dalam sejarah Toraja dengan nama Tomanurun (To = orang, Manurun
= turun dari langit atau turunan Dewa). Tomanurung-tomanurung tersebut
dianggap oleh masyarakat lebih pintar dan berwibawa karena mereka adalah
Penguasa Turunan Dewa Kayangan. Dalam sejarah ada beberapa tomanurung
yang datang tapi yang paling terkenal adalah :
- Tomanurun, Manurun Di Langi’ di Kesu’
- Tomanurun, Manurun Tambora Langi’ di Kandora
- Tomanurung, Manurung Membio Langi'
Salah satu dari keturunan Tomanurung yang sangat terkenal
adalah Lakipada, setelah dewasa menurut mithos pergi mencari hidup abadi
dan terdampar di daerah Kerajaan Gowa (sekarang kabupaten Gowa), karena
Lakipadada mempunyai keahlian dan kesaktian sebagai seorang keturunan
raja, maka Lakipadada diperlakukan sebagai raja yang besar dan sebagaian
besar orang Gowa mengatakan bahwa asal raja-raja di Sulawesi Selatan berasal
dari timur. Oleh karena itu mereka menyebut dia Lakipadada Tau Raya dalam
bahasa Makassar artinya orang timur (tau = orang, raya = timur). Yang
mungkin merupakan salah satu pendapat mengenai sumber kata Tana Toraja.
Lakipada kawin dengan seorang putri Raja Gowa yang bernama Karaeng Tara
Lolo dalam dalam perkawinannya itu melahirkan 3 orang putra masing-masing
:
- Patta La Bantan, berkuasa di Tondok Lepongan Bulan (Toraja) dengan
gelar Matasak Ri Lepongan Bulan.
- Patta La Merang, berkuasa di Gowa dengan gelar Somba Ri Gowa.
- Patta La Bunga, berkuasa di Luwu dengan gelar Payung Ri Luwu
Dalam sejarah ketiga putra Lakipadada tersebut yang menguasai
ketiga rumpun suku besar di Sulawesi Selatan pada waktu itu (akhir abad
XIV), yang dikenal dalam sejarah Toraja sebagai Tallu Botto (Tallu = tiga,
Botto = puncak penguasa), yaitu Suku Toraja, Suku Makassar, Suku Bugis.
|